“Sedang apa?”
Frank kaget ketika seseorang menyapanya dari belakang. Itu Sarah, salah satu teman sekelasnya. Frank tidak mengenalnya secara pribadi, hanya sekedar tahu nama.
“Oh, seperti yang kau lihat, aku sedang melihat bulan.”
Sarah mengangkat alisnya, lalu berkomentar singkat, “Kenapa?”
“Kenapa? Karena bulan itu indah. Terutama dari tempat ini.”
Mereka sedang berada di sebuah bukit kecil. Dia sering kesini sejak menemukannya secara tidak sengaja ketika sedang berjalan-jalan. Tiap kesini, dia selalu duduk di bawah pohon beringin besar di puncak bukit. Pohon itu seperti terpisah dari pohon-pohon kecil lain yang tumbuh di daerah bawah.
Walaupun hanya bukit, tapi dari sini dia dapat melihat langit malam dengan jelas tanpa terhalang silaunya cahaya kota.
“Entah kenapa, aku merasa bulan jadi lebih dekat jika aku duduk disini,” katanya lagi. “Dan aku tak pernah bosan melihat keindahannya.”
Sarah diam. Dia duduk di sebelah Frank.
“Jadi kau pergi ke sini hanya untuk melihat bulan?” tanyanya.
“Ya, begitulah.”
“Dasar aneh.”
“Hei, jangan kasar. Aku menyebut diriku sendiri Moongazer.”
“Moongazer?”
“Ya, seperti pemerhati bulan. Kurasa itu bahasa inggrisnya. Suatu saat aku akan membuat klub Moongazer yang berisi orang-orang yang suka melihat bulan dan keindahan malam,” katanya bangga.
“Untuk apa? Kegiatannya hanya diam dan melihat bulan kan?” sindir Sarah.
Frank mendengus. “Kau sendiri sedang apa di sini?”
“Aku bosan dengan pesta Bryan. Jadi aku jalan-jalan sendiri dan aku melihatmu.”
“Oh...tunggu, pesta apa?”
“Pesta ulang tahun. Dia mengundang semua temannya ke villa dekat sini.”
“Apa? Kenapa aku tidak diundang?” protes Frank.
Sarah melihatnya, tersenyum. “Mungkin dia merasa kau tidak cukup keren untuk diundang.” Setelah itu dia kembali menatap langit malam.
“Wow, aku punya perasaan tahu.” Sarah tidak menjawab. Frank diam-diam memperhatikan Sarah. Biasanya mereka tak pernah sedekat ini, sehingga dia baru sadar kalau Sarah memiliki wajah yang manis. Rambutnya yang dipotong sebahu kini tertiup ringan oleh angin sepoi-sepoi.
Sarah sepertinya tidak ingin berkata apa-apa. Frank tidak keberatan, mengingat suasananya terlalu damai untuk mulai mengomel tentang Bryan yang tidak mengundangnya. Jadi dia melihat ke atas lagi, ke arah bulan kesayangannya.
Bagaimana mungkin sesuatu bulat seperti bulan bisa memperlihatkan keindahannya seperti ini? Itulah yang tak bisa dipecahkan Frank. Mungkin bintang-bintang di sekitarnya membantu, tapi entahlah, bulan seperti memiliki pesona sendiri.
Angin menjadi dingin seiring makin larutnya malam. Frank melirik Sarah. “Kau tidak kedinginan?”
Dia tidak menjawab. Frank mengubah pertanyaannya.
“Apa kau tidak kembali ke pesta Bryan? Dia pasti bingung karena salah satu teman kerennya hilang.”
Senyumnya mengembang kecil, “Mungkin untuk malam ini, aku akan menjadi Moongazer. Lagipula pestanya payah. Dia bahkan tidak punya kue keju.”
“Kau suka kue keju?”
Lagi-lagi hanya bisu yang menjawabnya.
Frank melihat sesuatu yang tak biasa saat dia datang ke tempatnya biasa melihat bulan.
“Sarah?”
Dia menoleh sebentar, lalu kembali melihat ke atas. Frank memutuskan duduk di sebelahnya. Lagipula, biasanya dia yang duduk di situ.
Sudah seminggu Sarah tidak masuk kelas, dan aneh saja rasanya tiba-tiba justru melihatnya di sini. Tidak seperti sebelumnya saat dia memakai baju yang cukup bergaya, kali ini dia hanya memakai kaos dengan jaket yang diikat di pinggangnya.
Frank menggodanya, “Jadi, Moongazer bukanlah ide yang terlalu jelek kan?”
“Mungkin,” katanya pelan. “Yang pasti, tempat ini lebih baik daripada balkon kamarku. Aku bosan di sana.”
“Soal itu, kemana saja kau? Sudah seminggu ini kau absen kan?”
Sarah tertunduk, menatap rerumputan hijau tempat mereka duduk, “Aku sering sakit. Badanku lemah sejak kecil.”
“Ngg, maaf.” Frank merasa tak enak karena takut menyinggung Sarah.
“Tidak apa-apa.”
Setelah itu suasana menjadi canggung.
“Seperti katamu, tempat ini memang sangat bagus untuk melihat bulan,” kata Sarah tiba-tiba.
“Benar kan?” Frank senang Sarah akhirnya mengakuinya. “Cuacanya juga cerah hari ini. Kau benar-benar datang di saat yang tepat.”
Sarah tidak berkata apa-apa lagi. Frank bersandar di pohon dan bergabung dengannya. Sambil menikmati angin yang membelai kulitnya, dia membayangkan dirinya terbang ke bulan dan bermain-main di bintang.
Samar-samar dia mendengar Sarah berkata, “Mungkin tak ada ruginya menjadi Moongazer.”
Setelah kuliah, sangat sulit bagi Frank meneruskan dengan rutin kegiatan melihat bulannya. Tapi hari ini dia berhasil membuat janji dengan Sarah untuk bertemu di tempat biasa.
Saat mendaki bukit, Frank melihat sepeda yang biasanya Sarah pakai sudah terparkir. Benar saja, Sarah datang lebih dulu dan sedang bersandar dengan santai.
Jantung Frank berdegup kencang. Tenanglah, pikir Frank. Apa yang mungkin terjadi? Paling-paling Sarah menamparnya, atau melemparnya dengan sepeda.
“Hai.” Frank akhirnya berani mendekatinya.
“Kau telat,” katanya tanpa melihat.
“Aku tidak telat. Kau saja yang datang terlalu cepat. Ngomong-ngomong, ini...”
Frank mengeluarkan bunga yang dari tadi disimpannya di belakang punggung. Sarah melihatnya dalam diam. Tapi tak lama kemudian dia tersenyum.
“Terima kasih. Kau baik sekali.”
Frank duduk di sebelah, “Bagaimana bulannya hari ini?”
“Seperti biasa. Terang dan indah. Dia tidak peduli dengan polusi cahaya atau semacamnya.”
“Kau juga indah!” kata Frank cepat-cepat. Sarah melihatnya dengan bingung.
“Ada apa Frank? Kau aneh hari ini.”
Frank tertawa gugup, yang membuatnya terlihat lebih aneh. Tapi Sarah tidak berkomentar dan tetap menunggu.
“Sarah...” Frank mengumpulkan keberaniannya. “Aku suka kau.”
Tak ada jawaban.
“Sa...saat pertama kau menemaniku di sini, aku merasa sedikit terganggu. Tapi setelah beberapa lama kita menjadi Moongazer berdua, anehnya aku merasa nyaman. Keberadaanmu membuatku nyaman. Dan...dan entah sejak kapan, aku akhirnya merasa ada sesuatu yang lebih indah dari bulan.”
Hening. Frank sudah siap jika tiba-tiba Sarah mengambil sepedanya dan melempar ke arahnya.
Tapi Sarah justru tertawa pelan, “Moongazer? Kau masih memakai nama itu?”
“Eh...memangnya kenapa?”
“Tidak apa-apa.” Tawa Sarah terhenti. Kini dia hanya tersenyum. “Kau tahu kondisiku kan?”
“Ya. Tapi itu hanya membuatku ingin lebih menemanimu.”
Untuk sesaat, Sarah hanya diam dan menatap malam. “Kau orang yang baik.”
Frank bingun harus merespon apa. Jadi dia mengatakan sesuatu keren yang terlintas di kepalanya, “Masa sih?”
“Untuk kencan pertama, kau harus membawaku ke restoran baru di dekat stasiun,” kata Sarah. “Katanya di sana ada kue keju yang enak.”
Dan di bawah sinar bulan yang terang, Sarah mencium pipi Frank.
Frank mendorong kursi roda Sarah ke atas bukit. “Nah, kita sudah sampai.”
Sarah terlihat lemah, tapi tersenyum juga. “Terima kasih Frank. Kau terlalu baik.”
Frank tidak bisa tersenyum seriang Sarah. Pikiran buruk selalu menghantuinya, tapi dia tidak bisa mengatakannya pada Sarah.
“Kenapa? Kau tidak mau melihat bulan? Hari ini sangat cerah. Bintang-bintang bahkan terlihat senang.”
“Ah...ya kau benar..” kata Frank.
Sarah melihatnya, “Kau bahkan tidak melihat. Ada apa? Kau takut dengan operasiku?”
Kata-kata itu memicu sesuatu di dasar hati Frank, sesuatu yang selama ini selalu takut untuk dikatakan. “Andai saja mereka menemukan penyakitmu lebih cepat..”
Sarah hanya tersenyum. “Kanker jenis baru. Siapa yang akan menduganya.”
Frank tak bisa menahannya lagi. Air mata mengalir keluar. Dia terkejut ketika tiba-tiba Sarah membelai tangannya. “Tidak apa-apa kok Frank.”
“Apanya?” Frank terisak. “Kata dokter, keberhasilan operasimu nanti hanya sekitar 30 persen. Resikonya terlalu besar.”
“Mungkin,” komentar Sarah singkat. “Tapi ini lebih baik daripada menunggu mati.”
“Jangan bilang begitu!”
Sarah diam. Lalu tanpa disangka-sangka, dia melantunkan sebuah lagu.
“When this world is no more
The moon is all we'll see
I'll ask you to fly away with me
Until the stars all fall down
They empty from the sky
But I don't mind
If you're with me, then everything's alright “
The moon is all we'll see
I'll ask you to fly away with me
Until the stars all fall down
They empty from the sky
But I don't mind
If you're with me, then everything's alright “
Frank tidak pernah mendengar Sarah bernyanyi sebelumnya sehingga ini membuatnya terkejut. Sarah tersenyum dan bertanya padanya, “Kau tahu makna lagu itu?”
“Apa?”
“Apapun yang terjadi, selama kau berada bersamaku, semuanya akan baik-baik saja.”
Walaupun hatinya perih, Frank memaksakan tersenyum. “Hei, aku suka suaramu. Maukah kau bernyanyi sekali lagi?”
“Tentu saja,” kata Sarah. “Asal kita melakukannya sambil melihat bulan. Itu yang dilakukan para Moongazer kan?”
Dua tahun sejak operasi Sarah, Frank akhirnya kembali ke tempat ini. Tempat pertama kali dia mengobrol dengan Sarah.
Dia melihat ke atas. Bulan masih ada di sana, bersinar dengan indahnya. Lalu dia terbayang kembali semua percakapannya dengan Sarah di sini.
Frank memejamkan mata. Dia lalu duduk bersandar di pohon dengan nyaman. Dibukanya bungkus kue keju yang tadi dibelinya sebelum ke sini.
“Hei Frank, jangan tinggalin istrimu yang baru sembuh ini dong.”
Frank tersenyum melihat Sarah berjalan ke arahnya, “Supaya aku tempat duduk yang lebih enak. Sini sayang, kita makan sambil melihat bulan.”
0 komentar:
Posting Komentar