Masalahku
sejak SMA hanya satu, yaitu sulitnya bangun kalau udah tidur nyenyak. Biasanya
ibuku yang akan membangunkan dengan teriak keras-keras, atau kalau tak bisa
juga, ayahku toh bisa sihir, dia mengeluarkan air dari tongkatnya dengan kejam.
Tapi
kini tak ada yang membangunkan, dan parahnya, Edo pun sama tukang tidurnya
denganku. Maka hari pertama kami di Hogwarts diawali dengan lari-larian
sepanjang lorong menuju kelas.
Kelas
pertama kami adalah ramuan, bareng dengan kelas Ravenclaw. Pengajar kami
bernama Pak Samho, dia sepertinya berasal dari Maluku atau sekitarnya karena
logatnya yang unik. Pak Samho geleng-geleng kepala melihat kami yang telat
hampir setengah jam, tapi tetap memperbolehkan kami masuk. Ironisnya, hari ini
kami akan membuat ramuan untuk tidur nyenyak, ramuan yang akan masuk daftar
hitamku karena kebiasaan jelek tadi.
Aku
dan Edo langsung menuju ke kuali kosong disebelah Fika. Dia sudah setengah
jalan mengerjakan ramuan itu. “Itu resepnya, cepat kerjain” kata Fika sambil
menunjuk ke perkamen di atas mejaku.
Aku
agak kaget melihat bahan-bahan yang diperlukan. Sayap lalat, akar jahe, kaki
capung, dan banyak hal aneh lainnya.
“Kita
mau buat ramuan tidur atau racun sih?” kata Edo yang sama herannya.
“Entah,”
jawabku, “lagian kalau mau tidur nyenyak, kenapa gak minum obat tidur biasa
aja?”
“Karena
ramuan ini akan membuat kita tidur nyenyak dengan mimpi indah, dan tanpa efek
samping setelahnya. Kurasa obat tidur muggle tak bisa membuat yang seperti itu.”
Pak
Samho ternyata berdiri di belakang kami. “Itu sudah kujelaskan tadi, tapi salah
kalian datang telat.” Setelah mengatakan itu dia pergi mengecek hasil murid-murid
lain. Fika cekikikan di sebelah. Aku dan Edo tak terlalu banyak ngobrol lagi
setelah itu.
Setelah
satu jam yang penuh usaha, aku sadar bahwa ramuan bukanlah bakatku. Ketika Pak
Samho mencicipi ramuanku, dia langsung memuntahkannya dengan indah ke kuali
lagi. “Kenapa rasanya seperti kobokan gini? Pasti ada yang salah di takaran
serbuk kayu manismu!” komentarnya. Hebatnya, aku bahkan tak ingat ramuan ini
perlu kayu manis. Jelas ramuanku ini berakhir gagal total.
Tapi
bukan aku saja yang bernasib seperti ini. Setengah dari kelas sama saja
denganku. Pak Samho mengomeli mereka satu-satu. Kebanyakan hanya karena salah
sedikit takaran saja, tapi hasilnya bisa juah dari harapan. Bahkan ramuan Edo
rasanya seperti sup ayam.
“Kamu
terlalu banyak memasukkan paruh ayam!”
“Ma…maaf
Pak” kata Edo gugup.
“Tapi
enak juga, nanti kasih tahu resep ini ke koki kita ya.”
Mungkin
suatu saat Edo akan menjadi koki handal.
Ramuan
Fika bisa dibilang berhasil walaupun tak sempurna. Menurut Pak Samho, ramuan
tidurnya akan bertahan tak terlalu lama, tapi dia tetap dapat nilai bagus. Yang
berhasil mendapat nilai sempurna dari ramuan pertama ini adalah Iis. Mungkin
karena merasa semua ramuan gagal, Pak Samho meminum begitu saja ramuan Iis, dan
akibatnya langsung jatuh tertidur di kelas. Kami awalnya bingung, tapi akhirnya
memutuskan untuk keluar dari kelas, meninggalkan Pak Samho tertidur di lantai
sambil mengigau sesuatu tentang kambingnya.
Untunglah
setelah itu kami boleh sarapan dulu sebelum lanjut ke kelas berikutnya. Aku,
Edo, dan Iis makan dengan lahap di aulasambil ketawa-ketawa menceritakan
kejadian di kelas tadi.
Tiba-tiba
saja banyak burung hantu bertebangan masuk membawa surat. Satu per satu surat
dijatuhkan ke anak yang dituju. Langit di aula sekarang penuh dengan burung
hantu yang mencari pemiliknya. Aku kagum juga, ini pertama kalinya aku melihat
burung hantu sebanyak ini.
“Hei,
bukankah burung hantu itu kesulitan melihat di siang hari?” Tanya Edo, “kenapa
mereka bisa gak tabrakan gitu ya?”
Tepat
saat itu, seekor burung hantu terbang terlalu rendah dan menabrak Edo di
mukanya. Mereka terjungkal ke belakang. Anak-anak lain tertawa melihat kejadian
itu. Aku, mencoba menahan tawa, membantu Edo duduk lagi.
“Burung
sialan!!”
“Hei,
itu surat untukku” kataku. Aku mengenali tulisan ayahku di amplopnya. Kutarik
amplop dari kaki burung hantu ceroboh itu, dan dia pun terbang menjauh.
Halo Nak, gimana hari pertamamu
disana?
Kami sedih disini, rasanya sepi
without you. Kirim surat ke kami jika sempat ya.
Aku
sempat terharu membaca surat itu karena sepertinya ayah dan ibu kesepian
tanpaku. Surat itu juga disertai foto. Di foto tersebut sepertinya ayah dan ibu
baru saja membuat pesta karena akhirnya anaknya tak akan merusuh lagi di rumah
dan mereka terlihat sangat bahagia. Kuremas surat tadi dengan kesal, apanya
yang kesepian.
“Hei
lihat ini” kata Iis tiba-tiba.
Dia
sedang membuka koran. Berita utamanya memperlihatkan foto seseorang yang pernah
kulihat sebelumnya.
“Gayus
kabur dari penjara Cipinang!”
Suasana
langsung agak sepi mendengar berita itu. Ridho dan Fika ikut berkumpul bersama
kami untuk melihat korannya.
“Gayus?
Maksudmu gayus tambunan?” tanyaku.
“Ya,”
kata Iis, “Kurasa ini cukup gawat.”
Gayus
adalah salah satu pelahap maut yang sangat setia pada Voldemort. Ketika
Voldemort jatuh karena kakekku, kudengar dia menghilang. Dia sempat terlibat
kasus penghilangan uang Negara (maksudku, dia benar-benar menghilangkannya).
Dulu Gayus juga sempat kabur dari penjara dengan cara menyamar, tapi berhasil
ditangkap lagi, dengan sedikit bantuan ayahku. Jujur saja, aku heran dengan
Gayus yang tak terlihat makin tua.
“Apakah
dia mau membangkitkan pelahap maut lagi?” Tanya Ridho.
“Mustahil
menurutku,” kata Edo dengan yakin “Pelahap maut sudah habis berpuluh-puluh
tahun yang lalu. Yang ada sekarang paling hanya orang-orang gak jelas yang
pura-pura menjadi pelahap maut.”
“Oh
aku tak akan terlalu yakin jika jadi kau.”
Kami
menoleh ke belakang. Berdiri disana kombinasi teman yang paling aneh. Yang satu
berbadan kekar, rambutnya keriting, dan giginya terlihat sangat putih sampai
aku curiga dia menggosok giginya terlalu sering. Dia terlihat sangat sehat.
Tapi temannya adalah kebalikan, dia kurus kering, kulitnya kusam, mukanya penuh
jerawat, rambutnya dibiarkan berantakan dan sekeliling matanya hitam. Seolah-olah
si sehat menyedot semua jiwa si sakit. Mereka berdua memakai seragam hijau
Slytherin.
“Apa
maksudmu Frank?” kata Ridho dengan sedikit malas.
“Yaahh
menurutku,” si sehat yang dipanggil Frank menjawab, “semua itu mungkin kan?”
“Maksudmu
kau berharap pelahap maut bangkit lagi?”
“Aku
tak bilang begitu. Tapi begitupun tak masalah bagiku. Hidup sekarang terlalu
membosankan. Ya kan Fika? He he he he.” Dia mengedip pada Fika sambil tertawa
dengan memaksakan giginya tetap terlihat sehingga tertawanya mirip orang asma.
Fika membuang muka.
Ridho
terlihat makin kesal, “Oh, jadi bagaimana menurutmu dia melakukannya? Mengajak
satu-satu penjahat?”
Kali
ini si sakit yang menjawab duluan, “Bisa saja dengan barang yang ada di kamar
tersembunyi itu, hihihi.”
“Bodoh
Okki!” bentak Frank, “Kau tak perlu bilang pada semua orang!”
Okki
menunduk malu. Dia makin terlihat parah.
“Baiklah,
sampai berjumpa lagi nanti kawan-kawan.” Frank pergi sambil menarik kasar Okki.
“Aku
tak suka mereka,” kata Iis.
“Aku
juga,” tanggapku, “mereka terlihat aneh.”
“Sudahlah,
lupakan saja mereka. Ayo kita makan lagi, sebentar lagi kita harus masuk kelas
lagi kan?”
Tapi
kami tak sempat melanjutkan makan. Kami sudah harus masuk ke kelas
masing-masing. Aku, Edo dan Iis kini akan mempelajari ramalan, pelajaran yang
menurut ayahku tidak terlalu penting. Dia punya alasan bagus untuk berkata
seperti itu, karena dulu kakekku pernah diramal berkali-kali akan mati, dan dia
masih sehat-sehat saja sekarang.
Ruangan
ramalan didesain sangat mistis. Replika tata surya mengapung di atas. Bola-bola
ramalan diletakkan di atas meja bundar hitam. Bahkan ruangannya penuh asap agar
lebih dramatis, begitu kukira, sampai aku sadar asap itu berasal dari pengajar
yang panik karena jubahnya kebakaran. Anak-anak langsung membantu memadamkan
api entah dari mana itu.
“Huufft
maaf anak-anak,” kata Bu Rosa, pengajar ramalan kami, “Aku secara tak sengaja
membakar jubahka sendiri, hahaha.”
Aku
baru saja berpikir bodoh sekali ada orang yang bisa tak sengaja membakar
dirinya sendiri, tapi aku lalu teringat ketika di toko buku ketika secara tak
sengaja aku pun membakar sekelilingku.
“Baiklah
kita mulai pelajarannya. Oh ya, kamu Nak…”
Dia
menunjuk aku.
“Kamu
akan mendapat kesialan sebentar lagi.”
“Hah?”
kataku dengan kerennya.
“Ya,
dalam 3…2…1….”
Brak,
kursi yang kududuki patah dan aku terjerembab dengan keras. Anak-anak
menertawaiku.
“Reparo.”
Bu Rosa mengayunkan tongkatnya, dan kursiku utuh kembali.
“Terima
kasih Bu. Tapi lain kali tolong kasih tahu dari awal saja kalau kursi saya
rusak” kataku jengkel.
Bu
Rosa tak mempedulikanku. Dia menyuruh anak-anak melihat ke dalam bola dan
melihat apa bentuk asap di dalam bola tersebut lalu mencari artinya di buku.
Ini sangat konyol, tapi kuikuti saja perintahnya.
“Kamu
yang jatuh tadi, coba beritahu apa arti asapmu.” Dia menunjukku lagi.
“Nama
saya Kemal Bu, dan asap saya bentuknya seperti….asap.”
Bu
Rosa mengangkat sebelah alisnya, “Coba lihat lebih teliti lagi.”
“Mmhhh…”
Aku mencoba mengarang-ngarang, “Sepertinya ini bentuk hati, yang berarti
artinya sangat dekat dengan kita, dan yang ini seperti….pantat?”
“Jadi?”
“Jadi….ada
pantat di dekat kita?” kataku. Edo disebelahku sangat susah payah menahan tawa
sampai keluar air mata. Aku juga ikut tersenyum.
Tapi
tiba-tiba saja dari jendela muncul seseorang naik sapu terbang yang tak bisa
dikendalikan dan menabrak Edo dengan keras. Pantatnya menduduki wajah Edo
ketika jatuh. Semua anak tersentak kaget.
“Ridho!!”
kataku heran.
“Maaf,
aku tak bisa mengendalikan sapuku.”
Ramalanku
ternyata betul.
Bersambung....
kalau mau lihat Kemal Potter dari chapter 1, klik label "Kemal Potter" dibawah ini, terus cek postingan lama. Selamat memasuki dunia sihir :D
0 komentar:
Posting Komentar