Warung itu selalu ramai. Mau pagi, siang atau malam, orang keluar masuk. Itulah warung rujak Bu Nia, warung rujak paling enak di kota ini. Bagaikan narkoba, orang yang mencoba rujak bu Nia pasti ketagihan dan akan sering-sering mampir kesana lagi.
Sebenarnya buah dan sayuran yang digunakan standar saja, jambu air, bangkoang, kedondong, tauge, ubi, kol, dan mentimun. Bumbunya juga standar. Tapi menurut gosip, bu Nia punya bumbu rahasia yang membuat orang sangat suka rujaknya. Bu Nia tak pernah membicarakannya, walaupun tak membantahnya.
Satu hal yang jelek dari warung ini adalah penjualnya, yaitu Bu Nia sendiri. Sikapnya sangat jelek dan tidak menghormati pembeli.
"Bu, pembeli kan raja, jangan kasar-kasar dong" protesku suatu hari.
"Heh, raja kok makan rujak!" balasnya.
Walaupun sering diperlakukan semena-mena, karena rujaknya terlalu enak, tetap saja pembeli terus datang. Harganya juga tak terlalu mahal. Tapi jangan coba-coba berani hutang. Jika dengar kata hutang, berkedut-kedut kepala bu Nia, dan itu artinya warung itu akan dihibur dengan suara erangan si pengutang yang digampar bolak-balik sebelum dia dipaksa membersihkan seluruh piring kotor.
Aku dan dua temanku, Ali dan Cecep, merupakan pelanggan tetap di warung itu. Kami kebetulan ngekos di dekat warung Bu Nia. Jadi biasanya kami makan siang disitu saat kuliah sedang kosong. Lagipula harganya tak terlalu membebani anak kos seperti kami.
Seperti biasa, siang ini dari kampus kami langsung menuju kesana. Di jalan, kami membicarakan isi kuliah tadi.
"Gambarku tadi dipuji sama si Nining lho! kayaknya aku bisa jadi komikus nih" kata Cecep.
"Ah, gajah aja bisa kayak kulkas kalo kau gambar. Ngomong-ngomong kalian sadar gak sih kalau celana dalam Reni agak keliatan tadi" kataku.
"Masa sih? aku enak tidur tadi" balas Ali.
Memang, kami jarang mendengarkan kuliah.
Di tengah jalan, aku melihat seorang buta mau nyebrang. "Eh, kita bantu yuk tuh orang buta" kataku.
"Eh, bentar, kayaknya pernah liat tuh" Ali menahanku.
"Ah, " selaku "orang buta kan banyak. Bapaknya Cecep juga buta"
"Enak aja. Dia cuma budek ya" protes Cecep.
Aku menghiraukan mereka. Langsung saja kupegang tangan orang buta itu, dan pelan-pelan menuntunnya menyebrang jalan. "Eh.." katanya kaget.
"Tenang pak, saya disini untuk membantu bapak kok" jawabku dengan suara yang dibuat berwibawa.
"Tapi.."
"Oh tenang, saya ikhlas kok"
Dengan selamat kami sampai ke seberang. Supaya lebih keren, aku langsung berbalik badan tanpa menunggu terima kasih darinya dengan rambut melambai-lambai diterpa angin. Keren, sangat keren. Aku merasa bersinar. Bodohnya aku lupa kalau dia orang buta, gak bisa liat juga aku pose keren gini.
"Serius Roy, aku kayaknya pernah liat tuh orang" kata Ali ketika aku sampai di seberang lagi. Aku cuekin aja.
Kami pun terus berjalan. Ketika sudah dekat warung, seorang cewek yang badannya seksi berjalan terburu-buru dan menabrakku. "Ah maaf" katanya, dengan nada bicara yang seksi. Aku gugup "gak papa kok mbak". Dia lalu pergi angsung pergi, kayaknya buru-buru banget, kebelet kali ya.
"Liat tuh, balasan berbuat baik tadi nih. Jangan-jangan tuh cewe jodohku" komentarku senyam-senyum.
"Mungkin kau bakal berakhir sebagai pembantunya. Kurasa itu lebih cocok" balas Cecep. Sialan nih anak, padahal mukanya lebih ke-pembantu-an.
"Sampai deh kita" Ali menyela pertengkaran kami. Sesuai dugaan, warung bu Nia sudah penuh. Kami harus menunggu sebentar sebelum dapat tempat duduk. Aku memesan rujak buat tiga orang. Kami duduk mengobrol-ngobrol, sempat terdiam ketika bu Nia memarahi seorang pembeli karena rewel minta nambah. Dasar aneh, kan dia lebih untung.
"Nih, tiga rujak" kata bu Nia membawakan pesanan kami. Pesanan kami setengah dilempar ke meja. Tapi karena sudah biasa dengan perlakuan bu Nia ini, kami santai aja.
Kami pun melahapnya. Di tengah makan, Ali berbicara padaku "Eh, kau bawa duit gak? Hari ini kan giliranmu yang bayar". Karena keseringan makan disini, kami memang membagi giliran membayar.
"Oh tenang, aku banyak duit kok disini" kataku bangga, menepuk-nepuk kantongku. Lho kok, kosong ya? Kurogoh kantongku, gak ada. Kantong sebelah, gak ada. Kantong baju, gak ada. Dompetku mana??
"Kayaknya ada yang salah nih" kata Cecep melihat raut mukaku yang tak beres.
"Kenapa Roy?" tanya Ali.
"Dompetku, kayaknya jatuh" jawabku, masih merogoh-rogoh kantongku. Karena gak ada, aku lalu merogoh kantong Cecep. "Woi, mana ada di kantongku. Emangnya aku copet" katanya.
"Copet, jangan-jangan cewe tadi tuh copet. Yang nabrak kau tadi itu lho" simpul Ali layaknya detektif.
Aku menggeleng kepala "Gak mungkin cewe cantik kayak gitu jadi copet"
"Copet biasanya emang cantik dan cakep tau. Makanya kau gak cocok jadi copet"
"Sialan ko. Gimana nih sekarang? Kita bisa dibunuh bu Nia" kataku putus asa.
"Kita? ko aja kali. Aku ada kok cukup duit buat bayar rujakku"
"Aku juga masih ada nih nyisa dikit. Cukuplah buat bayar rujakku" tambah Cecep.
"Gak setia kawan banget sih! Masa aku harus ngutang sendirian?"
Bukankah aku sudah pernah bilang kalau kepala Bu Nia akan berkedut jika mendengar kata utang. Dan itulah yang terjadi sekarang. Perlahan dia melihat ke arah kami, "utang?" bisiknya pelan dengan mata melotot. Aku menghadapi kematian.
"Apa ada yang bilang utang tadi?" tanya Bu Nia, dengan nada pelan yang membuat bulu kuduk merinding. Matanya menatapku dengan tajam seakan tak mau melepaskan mangsa buruannya.
"Bukan utang, tapi kutang! Kami bertiga sedang membicarakan kutang model terbaru" ngelesku dalam panik. Para pembeli yang lain menahan ketawa. Ya iyalah, ngapain jam segini tiga anak kuliah membicarakan kutang di warung rujak? Untungnya Bu Nia percaya, dia berbalik untuk membuat rujak pesanan orang lain. Tapi kepalanya masih berkedut-kedut.
"Sialan kau, kenapa harus kutang sih?" bisik Ali marah.
"Cuma itu yang terpikir"
"Kan bisa kentang atau rantang"
"Siapa yang mau membicarakan kentang atau rantang di warung rujak" aku membela diri.
"Jadi menurutmu wajar orang membicarakan kutang di warung rujak?"
"Woi, sudah sudah. Sebaiknya kita pikirkan cara agar Roy selamat" kata Cecep di sela pertengkaran kami.
Kami terdiam sejenak. "Bagaimana kalau kami pulang duluan dan mengambil uangmu di kos?" saran Cecep.
"Uangku semua ada di dompet itu" jawabku "Atau kalian pulang dulu lalu kalian ambil duit kalian. Nanti kalau ada uang aku bayar ke kalian"
"Ah, kau selalu lupa bayar hutangmu. Hutang waktu aku beliin kau satu set celana dalam aja lupa kau bayar" balas Cecep
"Katamu itu hadiah karena hilangin celana dalamku!"
"Ya, cuma satu. Tapi kau beli dua belas kan"
"Tolong deh, jangan bicara celana dalam disini!" protes Ali, dia menunduk malu karena para pembeli yang lain jadi banyak melihat kami lagi "Lagipula, cara yang kau bilang tadi tidak bisa. Lihat ini" Ali menunjuk pada kertas yang ditempel pada setiap meja.
Karena sering disini, aku cukup tahu peraturan-peraturan itu. Aku sekarang sedang melanggar peraturan no. 1 - Jangan hutang sebelum siap mati. "Lihat peraturan no. 3" kata Ali. Peraturan no. 3 - pembeli harus membayar maksimal 40 menit setelah dia memesan.
"Kita baru makan selama 15 menit kan? dari sini ke kos cuma 10 menit kok kalau kalian lari" kataku.
"Peraturannya adalah membayar 40 menit setelah memesan. Kita udah nunggu pesanan 15 menit, terus makan 15 menit. Berarti sekarang udah lewat 30 menit. Kalaupun sempat ke kos, gak bakal sempat kesini lagi" analisa Ali yang jago matematika anak SD.
"Terus gimana nih?" aku makin panik. 10 menit lagi menuju kematian.
"Tenang, tenang Roy. Aku punya buku cerita yang mirip masalahmu. Mungkin bisa membantu" kata Cecep. Cecep memang maniak buku-buku cerita, dan dia sering membawanya ke kuliah. Dia mengeluarkan buku itu dari tasnya dan memberikannya padaku. Judulnya "Alice yang Berhutang".
Aku mulai membacanya "Pada suatu hari, hiduplah seorang gadis cantik bernama Alice. Dia sangat menyukai es krim. Tiada hari dia lewati tanpa makan es krim. Lalu suatu hari terdengar kabar kalau ada seorang monster yang menjual es krim paling enak di dunia. Walaupun penjualnya menyeramkan, es krim monster ini selalu laris. Alice juga ingin mencobanya, tapi dia tak punya uang. Karena terlalu ingin makan es krim itu, dia tetap nekat membelinya. Alice langsung melahapnya sampai habis. Setelah es krim habis dimakan, si monster meminta bayaran. Alice berkata kalau dia mau berhutang dulu. Monster itu tidak terima, dia mematahkan badan Alice jadi dua. Tamat."
"Wow, buku itu benar-benar tak bermotivasi" komentar Ali.
"Apa-apaan ini sialan!! Kukira dalam buku ini ada jalan keluar permasalahanku!"
"Yah, paling tidak kita tahu apa yang akan terjadi padamu" kata Cecep "Bu Nia akan mematahkan badanmu jadi dua"
"Aahhhh! Aku tamat!"
Ali menepuk-nepuk bahuku untuk menenangkan diriku. "Lebih baik kau jujur sekarang. Mungkin Bu Nia akan berbaik hati dan hanya menyuruhmu mencuci piring"
Benar juga kata Ali, walaupun aku tak pernah dengar kalau Bu Nia bisa berbaik hati. Aku harus jujur. Lagipula aku kecopetan, mungkin Bu Nia mau mengerti.
Aku berjalan gugup ke Bu Nia. "Bu..."
"APA?" Dia berbalik dengan cepat. Matanya menyala merah, atau aku saja yang terlalu takut dan melihatnya begitu. "Kalau kau belum mau membayar, sebaiknya kau ada alasan bagus menggangguku bekerja"
"A..a...a..ku.."
"APA?" teriaknya lagi.
"Aku mau berhutang dulu"
Dalam sekejap suasana langsung sunyi. Semua orang melihat ke arahku. Tatapan mereka bercampur antara ngeri dan menanti ada yang mati.
"Dengarkan dulu, dompetku hilang karena...ueekkk!"
Semuanya menahan napas. Aku tak sempat menyelesaikan kata-kataku karena tangan kekar Bu Nia mencengkram leherku. Aku menggeliat-liat. Tangannya yang satu lagi mulai terangkat, hukuman tamparan akan dimulai. Aku menutup mata, pasrah.
"Tunggu!!"
Cengkraman Bu Nia melongar. Ada seseorang mendekatiku. Dia, dia..
"Siapa kau?" kata Bu Nia sinis.
"Bu, apakah kau tak tahu kalau pembeli itu raja?"
"Huh, jadi kutanya padamu, apa kau itu raja?" Bu Nia balik bertanya, tetap dengan sinis.
Jawabannya tak terduga "Ya"
Bu Nia melotot padanya. Orang buta yang kutolong itu tersenyum padaku. Ali berdiri tiba-tiba dan mengumumkan "Itu Ian Kasela dari Radja!"
"Benar, dan bu, anak yang ibu cengkram ini temanku. Biarkan aku yang membayar hutangnya" katanya.
Bu Nia melepaskan tangannya. Aku selamat. "Semuanya, hari ini aku yang bayar!" kata Ian Kasela yang disambut sorak sorai dari para pelanggan. Ali membantuku berjalan lagi ke meja. Ian Kasela bergabung dengan kami.
"Aku sudah bilang pernah melihatnya" kata Ali.
"Maafkan aku sudah menganggapmu orang buta"
Ian kasela tertawa. "Tak apa-apa. Aku sudah biasa dianggap begitu. Biasanya juga tukang pijit."
"Ternyata Ian Kasela adalah orang yang baik hati" Cecep ikut nimbrung.
"Tidak juga. Teman kalian ini lah yang baik hati. Dia menolongku menyebrang jalan, walau itu tak perlu. Tapi aku lalu beruntung. Setelah agak lama menunggu taksi, tiba-tiba seorang wanita cantik menabrakku. Dia sangat cantik. Tapi dia langsung pergi sih"
Jantungku hampir berhenti.
"Maaf, apa kau membawa dompet" kataku pada Ian Kasela.
"Tentu saja, kalau tidak mana mungkin aku mau membayar rujak kalian semua. Dompetku ada disini" katanya sambil menepuk kantung celananya. "Eh?" raut mukanya berubah.
Radja harus mencari vokalis baru.
(Tamat)
Ini adalah salah satu cerpenku yang pernah dimuat di kemudian.com