Aku terbangun dengan perasaan tidak nyaman. Tiga
detik kemudian aku baru sadar kalau kasurku sudah menghilang dan kini aku
terbaring di padang rumput.
Kepalaku masih harus memproses apa yang sedang
terjadi, jadi aku berdiri untuk melihat-lihat keadaan. Padang rumput ini
dihiasi banyak bukit-bukit kecil. Di kejauhan aku melihat kincir angin yang
cukup tinggi. Sejauh ini aku belum tahu dimana aku sekarang. Aku tak pernah
melihat tempat ini dimanapun sebelumnya.
Lalu entah darimana, terdengar suara tawa anak bayi.
Aku bergegas mencarinya. Jika ada anak bayi, pasti ada ibunya juga. Mungkin aku
bisa bertanya dimana aku dan kenapa aku bisa sampai disini.
Tapi kucari kemanapun, aku tak bisa menemukan anak
bayi tersebut. Aku sudah mendaki bukit yang paling tinggi untuk melihat-lihat
sekitar, tapi tetap saja hasilnya nihil.
Panas semakin terik. Aku melihat ke atas untuk
memastikan posisi matahari. Saat itulah aku terkejut.
Matahari itu berwajah bayi, dan sesekali bayi
tersebut tertawa. Itulah suara yang kudengar. Aku semakin bingung tempat apa
ini. Yang jelas ini bukan bumi, aku tak pernah tahu matahari mempunya muka imut
selama ini.
“Haloooo, ada orang disini???” teriakku dalam putus
asa.
Lalu terdengarlah suara itu, “Inilah dunia
Teletubbies, Inilah dunia Teletubbies.”
Aku kaget, tapi langsung menuju ke sumber suara.
Tapi hasilnya mengecewakan, suara itu keluar dari semacam pipa yang keluar dari
bawah tanah. Apa mereka tinggal di bawah tanah?
“Halooo,” kataku pada pipa itu, “Apa kalian bisa
mendengarku? Aku tersesat diatas.”
Aku mendengar suara seseorang di kejauhan. Kudaki
bukit terdekat agar bisa melihatnya. Akhirnya terlihat seseorang selain aku di
dunia aneh ini. Aku bergegas mendekatinya.
Tunggu. Dia bukan manusia. Ada bentuk segitiga di
atas kepalanya, mukanya putih pucat, dan badanya ditutupi warna ungu. Makhluk
apa itu?
Tiga makhluk yang mirip sepertinya mulai muncul
mengikutinya. Warna mereka berbeda-beda, ada yang hijau, kuning dan satu lagi
bewarna merah. Sejauh yang kulihat, mereka hanya berjoget-joget disana.
Aku sedang berpikir mendekati mereka ketika salah
seorang manusia menghampiri mereka duluan. Yes, akhirnya ada manusia. Dan lebih
bagusnya lagi, manusia itu adalah Roni, tetanggaku. Dia mencoba berbicara pada
makhluk-makhluk tak jelas itu.
“Halo” katanya.
“Ah-Oh” jawab makhluk-makhluk tersebut. Kurasa Ah-Oh
adalah salam mereka karena mereka terlihat melambai pada Roni.
“Begini, aku tersesat, bisakah kalian....”
“Berpelukaaannnn....” penjelasan Roni dipotong, dan
mereka berempat mulai memeluknya. Lama mereka melakukannya sampai akhirnya
mereka membubarkan diri.
Tunggu, Roni tidak bergerak. Dia terjatuh ke tanah
sementara para makluk tersebut meninggalkannya. Mukanya pucat putih dan matanya
terbuka ketakutan. Dalam sekejap, ketakutan menyebar di tubuhku. Apa yang
terjadi barusan? Apa Roni....mati?
Ketika mereka sudah tak terlihat, aku mendekati
Roni. Badannya dingin dan tak bernafas lagi. Perutku langsung mual melihatnya.
“Ah-Oh”
Aku tersentak melihat si makhluk bewarna merah
melihatku dari atas bukit. Dia sedang menaiki skuter.
Badanku tak bisa bergerak sementara dia mulai turun
dari bukit.
“Ka...kalian ini apa?” akhirnya aku mampu
mengeluarkan suara.
“Kami adalah Teletubbies” jawabnya dengan suara
riang. Ternyata kalau dilihat dari dekat, ada semacam tv di perutnya,
membuatnya semakin aneh.
“Berpeluuukaaann..”
Ketika dia mengatakan itu, tv diperutnya
menamppakkan tubuhku yang kaku seperti Roni. Dengan secepat mungkin aku
melarikan diri dari situ.
Aku berlari ke arah yang salah. Teletubbies kuning
menungguku di depan sambil membawa bola besar. Dia melemparkan bolanya ke
arahku. Aku terjatuh terkena hantamannya.
“Berpeluuukaan...”
Teleubbies kuning itu mendekat....sambil membawa
pisau. Kini aku tahu mereka memang mencoba membunuhku.
Aku langsung bangun dan lari sejauh mungkin. Dua
teletubbies di belakangku hanya menatapku dengan tatapan kosong mereka.
Aku berlari dan terus berlari. Aku tak peduli lagi
dimana ini. Secara tak sengaja, aku menemuka rumah yang dibangun dibawah bukit.
Putus asa mencari perlindungan, aku masukke rumah itu untuk bersembunyi.
Itu pilihan yang sangat keliru. Ketika masuk, aku
langsung melihat si Teletubbies ungu sedang makan di meja. Untungnya dia tidak
melihatku. Aku bersembunyi di balik lemari.
“Hmmm...” kata si Teletubbies, “Kue yang dibuat dari
manusia memang enak.”
Jantungku seakan mau copot. Mereka tak hanya mau
membunuhku, tapi juga mau memakanku. Dengan perlahan aku mencoba keluar dari
rumah. Saat itulah, Teletubbies hijau masuk dan melihatku.
“Ah-Oh”
Teletubbies ungu melihat ke arah kami. Dengan mulut
masih penuh kue, dia beranjak dari meja makan. Dari dapur, dia mengambil sebuah
pisau besar. Teletubbies hijau juga melepas topinya, dan seperti sulap,
mengeluarkan pisau yang sama besarnya.
“Berpelukaaannn”
Aku tamat. Mereka mengepungku, dan tak ada jalan
untuk lari.
“Saatnya Tubby berpisah, saatnya Tubby berpisah.”
Suara itu pasti dari pipa yang pertama kutemukan.
Seperti terhipnotis, mereka beralih dariku dan menuju ke tempat tidur. Dua
Teletubbies sisanya juga masuk dan mengikuti mereka ke tempat tidur. Tiba-tiba
suana berubah dari ketegangan akan dibunuh menjadi lega mendengar mereka
mendengkur.
Seharusnya aku lari, tapi karena terlalu lega, aku
jatuh pingsan.
Ketika aku membuka mata lagi, aku berada di tempat
tidur. Semua itu hanya mimpi buruk, syukurlah. Badanku penuh keringat. Mungkin
aku tak bisa tidur untuk beberapa hari ke depan.
Aku membuka jendela dan sinar matahari masuk
memenuhi kamar. Mataharinya normal, tanpa muka bayi. Aku tersenyum sendiri
mengingatnya.
Perhatianku kemudian teralih ke keramaian di luar.
Sepertinya tetanggaku sedang panik. Kulihat ada ambulans juga datang.
Aku mengerutkan dahi, lalu menutup jendela. Itu pasti tak ada hubungannya dengan mimpiku,
kataku berulang kali dalam pikiran.
Saat itulah aku sadar ada yang berdiri di sudut
kamarku. Karena gelap aku kurang bisa melihatnya, tapi kurasa itu ibuku, karena
dia memakai tas wanita.
“Ibu, kenapa tetangga kita?”
Tak ada jawaban.
“Ibu?”
Bulu kudukku merinding saat aku sadari dia ditutupi
warna ungu, dan sedang memegang pisau.
“Ah-Oh.”