Tak
terasa hari sudah mulai gelap saat kereta kami mulai berhenti. Kami semua sudah
berganti baju, semacam jubah hitam yang dilengannya tertera tulisan emas “Tahun
Pertama”. Banyak yang protes soal pembedaan ini. “Bagaimana kita bisa mengeceng
anak tahun atas jika kita dibedakan begini?” kata Edo, anak jahil yang
berkenalan denganku di kereta tadi.
Aku
setuju, apalagi untuk jomblo 17 tahun seperti aku ini, mendapat pacar seperti
sudah kebutuhan. Di SMA, aku beberapa kali hampir mendapat pacar, tapi sihir
mengacaukan segalanya. Seperti ketika aku kencan pertama dengan cewek imut di
kelasku dan aku tanpa sengaja membuat roknya terbang terus (itu karena hatiku
terbang, kata ayahku) atau seperti ketika aku membuat hujan cacing di sekitarku
sewaktu berjalan bersama gebetanku (bahkan ayahku tak mengerti kenapa itu
terjadi). Karena itu beberapa orang menganggapku aneh dan membawa sial.
Kali
ini itu harus berubah, aku harus mendapat pacar! Itulah motivasi utamaku masuk
ke sekolah ini, kan semua cewek sama anehnya denganku.
Para
murid berbondong-bondong turun dari kereta. Kami tak perlu menurunkan barang
sendiri karena nanti para peri rumah yang akan melakukannya.
“Anak-anak
tahun pertama kumpul disini!”
Aku
menoleh ke orang yang berteriak dan setengah kaget. Tinggi orang itu mungkin 2
meter, dan mukanya terlalu banyak dipenuhi luka. Mata sebelahnya putih kosong,
mungkin buta. Kami semua dengan sedikit enggan berkumpul didekatnya.
“Namaku
Bambang, dan aku pengawas Binatang Sihir disini. Oh ya, dan aku juga guru
Pemeliharaan Satwa Sihir kalian di tahun ini.” Ketika dia bicara, suaranya agak
menggeram dan membuat setengah dari rombongan kami jadi lebih takut dari
sebelumnya.
“Baiklah,
ikut aku.”
Kami
semua dibawa pergi dari stasiun. Sepanjang kulihat, disekitar sini hanya ada
jalan setapak dan hutan yang mengelilinginya. Tak tampak sekolah Hogwarts. Kami
disuruh berbaris dan menunggu sebentar. Bambang bertepuk keras, dan dari dalam
hutan keluarlah semacam kereta delman, tapi anehnya tak ada kuda yang
menariknya, kereta itu berjalan sendiri.
“Thestral,”
bisik Ridho yang ada disampingku, “Aku mendengarnya dari ayahku. Thestral hanya
bisa dilihat oleh orang yang sudah pernah melihat kematian.”
Aku
melihat ekspresi Iis sekilas, dan entah kenapa aku yakin bahwa dia bisa melihat
Thestral itu. Apa itu berarti dia pernah melihat seseorang meninggal?
Hanya
saja aku tak sempat berpikir lama-lama. Bambang menyuruh kami naik satu kereta
empat orang. Iis sudah pergi duluan. Aku naik bersama Ridho, Fika dan Edo. Setelah
kami duduk, kereta itu langsung berjalan lagi. Kami makin lama makin masuk ke
hutan. Ini membuatku cukup takut karena langit juga makin gelap. Melihat muka
Bambang, aku tak mau memikirkan apa saja binatang yang ada di hutan ini.
Setelah
30 menit, kastil sekolah akhirnya terlihat di kejauhan. Besar sekali, jauh
lebih besar daripada kastil-kastil yang kulihat di film. Menara-menara
menjulang ke atas. Gerbang depan kastil itu dihias dengan panji-panji asrama,
Gryffindor dengan warna merah, Slytherin dengan warna hijau, Hufflepuff dengan
warna kuning, dan Ravenclaw dengan warna hijau.
“Semua
orang mau masuk Gryffindor, tapi aku sangat ingin ke Hufflepuff,” kata Edo, “Leonalex
berasal dari asrama itu tahu?”
Leonalex
adalah seeker utama tim Quidditch Inggris. Pada piala dunia terakhir, dia
melakukan tangkapan spektakuler dalam keadaan tangan patah setelah dihantam
bludger. Tangkapan itu membuat Inggris unggul 10 point atas rival dan tetangga
mereka, Irlandia.
Aku
memang dibesarkan di dunia muggle, tapi aku cukup tahu tentang Quidditch dan
cukup menggemarinya. Tim lokal favoritku adalah Medan Firestar, yang seekernya
juga seeker utama timnas Indonesia, Toni Siregar.
Kami
asyik membicarakan Quidditch setelah itu dan tak sadar kini kami sudah
berhenti. Kami berempat langsun turun dan bergabung dengan rombongan di depan
gerbang.
“Sekarang
kalian bersiaplah untuk penyeleksian. Ayo masuk.” Bambang membuka pintu yang
besar itu hanya dengan sebelah tangannya. Kastil itu sangat keren, dimana-mana
ada foto penyihir terkenal yang bergerak-gerak senang melihat murid baru,
obor-obor menyala di sepanjang dinding, disalah satu pojok kastil aku melihat
ada kepala naga yang dipajang di dinding. Kami terus saja berjalan dan dibawa
masuk ke aula besar.
Aula
besar sangat ramai. Ruangan besar itu diisi empat meja panjang untuk setiap
asrama. Di tengah-tengah ruangan sudah disiapkan kursi untuk penyeleksian.
Dalam sekejap saja perutku sudah melilit karena tegang.
Seorang
laki-laki yang sudah cukup tua berdiri. “Selamat datang para murid baru. Kami
senang sekali bisa menerima kalian disini.
Namaku Sofyan, aku kepala sekolah disini. Mari kita lakukan saja
langsung penyeleksiannya.”
Bambang
berdiri di dekat kursi dan mengeluarkan gulungan berisi nama-nama murid baru.
“Abam Fahrani!”
Seorang
laki-laki agak gemuk maju dengan pucat ke kursi. Bambang menaruh topi di
kepalanya, dan tiba-tiba saja topi itu bernyanyi.
“Oooh wahai murid bermuka bulat, otakmu berisi
pengetahuan yang cukup kulihat, dan asrama untukmu tak lain dan tak bukan
adalah…..Ravenclaw!!”
Topi
itu bernyanyi dengan keras dan dengan cengkok dangdut yang sempurna. Meja Ravenclaw
bersorak-sorak senang menerima anggota baru.
“Maaf
soal itu,” kata Bambang, “Topi ini jadi senang dangdut sejak dia datang ke
Indonesia. Selanjutnya, Anna Fatilla!”
Pemanggilan
dilakukan berdasarkan abjad. Makin dekat ke namaku, makin teganglah aku.
Sebenarnya tak masalah aku dimasukkan ke asrama mana, aku lebih takut karena
topi itu akan membaca pikiranku. Jangan-jangan setelah dia membacanya, dia akan
menyanyi keras-keras lagu Darah Muda karena dipikiranku hanya memikirkan
bagaimana bisa dapat pacar.
Edo
berhasil masuk Hufflepuff sesuai keinginannya diiringi lagu Alamat Palsu dari
si topi. Mungkin Edo memikirkan pacarnya yang hilang atau apa.
Satu
per satu murid diseleksi hingga akhirnya, “Kemal Potter!”
Orang-orang
langsung terdiam. Mereka berbisik-bisik pelan sambil menunjuk ke arahku. Aku
tahu ini bakal terjadi. Nama keluarga Potter memang sangat terkenal. Semua
kenal Harry Potter, orang yang mengalahkan pangeran kegelapan. Ayahku adalah
auror terkenal sebelum dia memilih menjadi guru. Paman dan bibiku juga
mempunyai pangkat tinggi di Kementrian Sihir Inggris. Ini membuatku sedikit
tertekan karena tak boleh mengecewakan mereka.
“Itu
dari keluarga Potter.”
“Cucunya
Harry Potter yang itu.”
“Dia
kan yang membakar toko buku kemarin.”
Oke,
aku akan menendang pantat orang yang menggosip terakhir itu nanti. Tapi
sekarang aku punya kecemasan lain. Dengan gugup aku duduk di kursi. Bambang
menaruh topi di kepalaku.
“Hmmm….”
Topi itu berpikir. “Kemal ya, kau punya keberanian dan pintar, tapi kau terlalu
banyak memikirkan cewek…”
Terdengar
suara terkikik di sana sini. Mukaku memerah.
“Aku
bingung, lagu apa yang cocok untuk kepalamu ini, hmmmm…”
Aku
berkata dalam hati, tolong jangan nyanyi,
tolong jangan nyanyi.
“Jangan
nyanyi ya,” si topi kedengaran kecewa, “Baiklah, Hufflepuff!!”
Meja
di tengah bersorak-sorak gembira. Aku dengan lega langsung menuju ke meja itu.
Memang semua keluargaku masuk ke Gryffindor, tapi bagiku tak masalah dimanapun.
Lagipula anak-anak Hufflepuff sepertinya sangat ramah-ramah, mereka langsung
menyalamiku. Aku duduk di sebelah Edo, yang ternyata sudah mulai pedekate
dengan seniornya.
Seleksi
terus berlanjut. Aku melihat Fika dimasukkan ke Ravenclaw dan Ridho dimasukkan
ke Gryffindor. Muka Ridho langsung merana dipisah sama julietnya. Iis
dimasukkan ke Hufflepuff juga, yang membuatku cukup senang karena sudah lumayan
akrab.
Setelah
semua anak sudah duduk, Sofyan berdiri lagi. Kepala sekolah itu mungkin umurnya
sudah 100 tahun, mukanya sangat keriput dan rambutnya terlalu putih sampai aku
curiga dia tak sengaja kejatuhan cat putih, tapi mukanya ceria seakan-akan tak
ada lagi yang lebih membahagiakan daripada melihat kami.
Tapi
tiba-tiba saja, dengan pekik kekagetan banyak anak baru, dia berubah. Kulitnya
menjadi mulus lagi, rambutnya menghitam, entah bagaimana sekarang kepala
sekolah seperti baru berumur 30 tahun. Dia berdiri di podium untuk berpidato.
“Selamat
datang untuk anak baru dan selamat datang kembali untuk murid lama. Aku tak
akan membuat kalian bosan dengan pidato panjang. Aku hanya akan mengingatkan
beberapa hal, untuk anak tahun pertama sampai tahun ketiga dilarang masuk ke
rumah kaca dua karena disana banyak sekali tanaman-tanaman berbahaya. Menara di
sebelah timur juga terlarang. Selain itu, kastil ini adalah milik kalian. Nah,
sekarang mari kita makan.”
Setelah
Sofyan selesai bicara, makanan langsung muncul di meja. Anak-anak bersorak
senang dan mulai makan. Semua makanan yang bisa kau bayangkan ada di meja.
Untuk pertama kalinya dalam hidup, aku bingung karena tak tahu apa yang harus
dimakan duluan. Akhirnya kusabet ayam goreng dan kentang sambal.
Sambil
makan, aku dengar Edo bertanya kepada prefek (ketua asrama) kami, Andri,
tentang perubahan kepala sekolah. Dia minum sejenak lalu berkata, “Pak Sofyan
adalah masternya sihir perubahan usia. Sangat jarang ada penyihir yang bisa
begitu, sihir langka. Sejauh ini, aku hanya melihat pak Sofyan yang bisa melakukannya.”
Aku
melihat ke arah meja guru. Pak Sofyan sedang asyik berbicara dengan guru
wanita, sulit membayangkan dia adalah pak tua 10 menit yang lalu.
Obrolan
makin lama makin kencang, yang berarti banyak murid sudah selesai makan. Aku
sendiri sudah tak mampu lagi menelan satu makanan pun karena jika
dihitung-hitung sudah 3 piring kulahap. Pak Sofyan membubarkan kami dan para
prefek langsung menuntun anak-anak baru ke asrama kami.
Asrama
Hufflepuff terletaknya sekitar 2 lantai di bawah aula besar. Walaupun ini di
dalam tanah, entah bagaimana jendela di sepanjang lorong menampilkan
pemandangan langit berbintang.
“Itu
sihir.” Kata Andri sambil lalu mendengar anak-anak berbisik di belakangnya.
Kami
lalu berhenti di ujung lorong. Sebuah lukisan besar wanita yang memakai baju
adat jawa tersenyum melihat kami.
“Password?”
“Mbak,
es tehnya dua!”
“Passwordnya
apa?” tanyaku karena aku yakin salah dengar.
“Mbak,
es tehnya dua,” ulang Andri seakan-akan itu password yang dipakai sehari-hari
oleh orang. Lukisan membuka ke dalam, dan kami satu-satu memanjat masuk.
Kami
kini berada di ruangan besar berbentuk lingkaran yang dekorasinya penuh dengan
warna kuning, warna Hufflepuff. Kursi-kursi berlengan empuk berderet di tengah
sedangkan beberapa meja diletakkan di samping. Lukisan Helga Hufflepuff
menyambut kami dengan senyumannya. Ada dua pintu, satu di sebelah kanan dan
satu di sebelah kiri.
“Anak
laki-laki masuk ke sebelah kanan, anak perempuan ke sebelah kiri. Barang kalian
ada di dekat tempat tidur.”
Aku
ikut rombongan cowok ke kanan. Ternyata ruangan itu berisi lorong panjang lagi
yang di sisinya terdapat pintu-pintu kamar. Ketika aku masuk, sebuah kertas
entah darimana bersinar di kantongku. Kertas itu berisi nomor kamar. Nomor 11,
dan aku akan sekamar dengan Edo.
Aku
masuk ke kamar 11, disana sudah ada barang-barangku. Kamarnya tak terlalu luas,
tapi nyaman. Langsung saja aku berbaring di tempat tidur. Mungkin karena lelah,
aku langsung tidur dan tak sabar mulai belajar besok.