Setelah
kejadian yang cukup menegangkan di Pasar Sihir tadi pagi, aku mulai belajar
sedikit mantra sihir dari buku. Yang paling dasar adalah membuat barang
terbang. Pasti gampang, pikirku. Dan tentu saja aku tak pernah tahu betapa
salahnya aku sebelum aku melihat efeknya sendiri.
“Wingardium Leviosa” kataku membaca
mantra sambil mengayun tongkat ke asbak.
Hasilnya
diluar dugaanku, asbak itu melayang dengan cepat tepat ke mukaku. Hidungku
terhantam dengan keras. Uji coba pertamaku menggunakan sihir berakhir dengan
aku berlutut di tanah sambil mengelus-elus hidung.
“Kemal,
tidur sana, besok pagi kau kan harus bangun cepat! Sedang apa kau di lantai?”
Itu ibuku, dia sudah selesai mencuci piring.
“Hiyaa
henthaar.” Maksudku, iyaaa bentaar.
“Hah
apa?”
“Henthhaar
aggyy!!”
“Entah
apa yang kau bilang, cepat tidur sana!”
Aku
males membantah lagi (lagian susah membantah dengan hidung seperti ini). Aku
naik ke kamarku dan tidur-tiduran di kasur. Seperti anak kecil, aku sulit tidur
jika besok adalah hari yang spesial. Aku tak sabar melihat sekolah sihir itu,
dan aku juga tak sabar memakai sihir dengan bebas disana. Kami, para penyihir,
memang dibatasi memakai sihir jika di dunia muggle.
Setelah
agak lama, aku akhirnya sukses tertidur. Aku bermimpi tentang aku yang berada
di sekolah sihir. Awalnya mimpi itu menyenangkan, lalu semua berubah ketika
muncul seseorang yang sepertinya pernah kulihat. Dia mulai merusak segalanya.
Kemudian dia menghampiriku, dan dari tongkat sihirnya keluar cahaya hijau….
Aku
terbangun tepat sebelum aku mati di mimpi. Keringat mencucuri kepalaku. Sinar
hijau itu pasti mantra pembunuh, aku pernah melihatnya di beberapa buku. Mantra
yang sangat dilarang.
Aku
mencoba mengingat-ingat mimpiku tadi, tapi semua kabur. Saat berpikir keras,
aku sadar ada suara langkah pelan di luar kamarku. Badanku menegang. Dengan
takut aku memegang tongkatku. Siapapun itu, pasti dia punya maksud tak baik.
Aku tak tahu apa ada gunanya tongkat sihir ini karena satu-satunya mantra yang
bisa kulakukan adalah menerbangkan benda ke mukaku. Tapi ini lebih baik
daripada tak ada apa-apa.
Kenop
pintu berputar pelan. Aku semakin tegang. Tongkatku bergetar di tanganku. Lalu
pintu kamar terbuka perlahan. Dari balik kegelapan keluarlah…..pantat? Hanya
pantat tanpa badan atau kaki. Apa-apaan itu?
Dengan
bingung aku mendekati pantat itu. Apakah ini semacam hantu jenis baru.
Kuulurkan tangan dengan pelan untuk menyentuhnya, dan saat itulah muncul kepala
yang melayang di langit sambil menjulurkan lidah.
“AAAHHHH!!”
“Ahahaha!
Kemal, ini ayah!” Kepala itu adalah ayah. Dan pantat itu….itu pantat ayah. Dia
melepas kain entah dari mana dan kini seluruh tubuhnya muncul.
“A…ayah,
apa-apaan itu?” tanyaku, masih shock.
Ayah
memegang kain itu di tangannya. “Ini Nak, adalah jubah tak terlihat. Diwariskan
dari kakekmu kepadaku. Kini kuwariskan kepadamu.”
Aku
menerimanya dengan bingung, “Tapi, untuk apa ini?”
“Yaah,
kau bisa memakainya untuk mengerjai orang dengan gaya,” katanya.
“Dengan
gaya, maksudmu seperti yang kau lakukan tadi? Wow, itu sangat gaya.”
Dia
tertawa kecil lalu pergi keluar kamar. Malam yang aneh, ayahku mengerjaiku
dengan trik-hantu-pantat lalu tiba-tiba memberikan salah satu barang paling
berharga dalam dunia sihir. Aku memasukkan jubah itu ke koper lalu mencoba
kembali tidur.
Untungnya
kali ini tak ada mimpi lagi. Aku tidur dengan nyenyak, terlalu nyenyak malah
karena menurut ayahku aku sangat sulit dibangunkan sampai-sampai dia berpikir
untuk memakai mantra penyiksaan Crucio untuk membangunkanku.
Ibuku
membuat sarapan favoritku, roti panggang dengan telur (ya, standarku memang
rendah). Ibuku mulai mengabsen satu persatu apakah ada barang yang lupa atau
tidak.
“Buku
bacaan?”
“Bawa.”
“Celana
dalam?”
“Tentu
saja bawa. Mana mungkin aku lupa itu.”
“Bawa
saja sedikit banyak, mana tau perlu.”
“Perlu
buat apa? Buat dijadiin layangan? Ini juga udah banyak kok.”
Ibuku
diam sejenak, “Yakin gak mau tambah lagi celana dalamnya? Nanti kalau kurang
gawat lho.”
“Ya
ampun Bu, aku gak akan dikeluarkan dari sekolah kalau kurang celana dalam.”
“Ya
deh ya.”
Setelah
selesai makan dan mandi, aku diantar ayahku ke stasiun kereta. Saat aku melihat
karcisku, aku sadar ada yang aneh. “Peron setengah? Apa ada peron setengah?”
“Lihat
saja nanti.” Kata ayahku.
Aku
menurunkan barangku dari mobil. Awalnya aku bingung bagaimana membawa barang
sebanyak ini, lalu ayahku menjentikkan jari dan muncullah peri rumah. Aku jelas
kaget, “Apa muggle tak bisa melihatnya?”
“Tidak.
Ada sihir yang melingkupinya. Ibumu juga tak bisa melihatnya.”
Peri
kecil itu mengangkat banyak barang dengan mudah. Lebih tepatnya dia membuatnya
melayang. Muggle disekitarku tidak menunjukkan keterkejutan, mungkin ini pun
tak bisa mereka lihat.
Aku
mengikuti peri itu pergi. Dia lalu berhenti di depan toilet umum stasiun. Aku
berbisik ke ayah, “Aku tak tahu peri juga buang air.”
“Apa
maksudmu? Inilah peronmu.”
“Hah?
Di toilet?”
Dia
menggelengkan kepala. “Peron setengah itu ada di antara toilet cewek dan toilet
cowok. Kau hanya perlu menerobos dinding di tengah itu.”
Peri
itu bergerak duluan. Dia berlari dengan kencang sambil membawa barang ke arah
dinding ……dan dia menghilang!
“Apa
menteri sihir tak bisa membuat gerbang yang lebih bagus lagi?” protesku.
Setelah memastikan tak ada yang melihat, aku berlari ke dinding. Aku seketika
tembus ke stasiun yang lebih besar. Suasananya juga jauh lebih ramai. Kereta
model tua yang masih memakai cerobong asap bersiap-siap akan pergi.
Ayahku
muncul di belakang. “Peri itu akan memasukkan barangmu. Kau lebih baik lekas
naik. Here, take some money.”
Ayah
member beberapa keeping emas. Jelas bukan Rupiah.
“Berhati-hatilah
disana. Jangan terlalu sering belajar, ingat main juga.” Nasihat yang sangat
bagus. Aku akan selalu mengingatnya. Aku pamit pada ayah lalu naik ke kereta
mencari tempat duduk.
Kereta
itu ternyata berisi ruangan-ruangan kecil yang bisa diisi empat orang.
Kebanyakan sudah diisi. Aku lalu melihat Fika di salah satu ruangan, jadi aku
masuk kesitu. Dia sedang duduk bersama seorang laki-laki.
“Hei,
ingat aku?”
Fika
melihatku lalu tersenyum. “Tentu saja, kau kan yang membakar toko buku itu.”
Aku
duduk salah tingkah, “Darimana kau tau? Kukira kau sudah pulang.”
“Aku
kembali lagi karena melihat ada keributan. Lalu kulihat kau dan ayahmu lari
dengan panik.” Fika terkikik pelan. Bagus, harga diriku sudah hancur bahkan
sebelum aku sampai sekolah. “Oh ya, ini Ridho.”
Aku
menyalaminya. Ridho berambut lurus hitam yang dipotong pendek. Giginya agak
maju kurasa, dan mukanya cukup dipenuhi jerawat. “Pacar?”
“Ya
begitulah,” Fika tersenyum, “Kami berdua sama-sama diterima di Hogwarts.”
Wah,
salah ruangan nih. Kalau begini aku cuma akan mengganggu mereka pacaran.
Untunglah saat itu ada seorang lagi cewek yang masuk ke ruangan itu. Dia
sepertinya tahun pertama juga. Rambutnya dipotong pendek, dan badannya juga
pendek. Selain itu, dia cukup cantik.
“Hai,
kalian baru masuk tahun ini?”
“Ya
begitulah,” Kataku. Aku harus terlihat keren sekarang. Ini akan berpengaruh
pada masa depan. “Namaku Kemal, kau siapa?” kataku dengan cara yang paling
macho.
“Aku
Iis. Hei, aku tahu kau!”
“Oh
benarkah?” kataku kegirangan. Sebegitu terkenalkah aku?
“Kau
yang membakar buku di pasar sihir!”
Harga
diriku hancur.