Perkenalkan,
namaku Kemal Potter.
Sekali
dengar juga kalian pasti sudah tahu kalau aku berhubungan dengan Harry Potter
si penyihir legendaris tersebut. Ya, Harry Potter adalah kakekku. Sekitar 20
tahun yang lalu, anak Harry, Albus Severus, pindah ke Indonesia untuk mengajari
para penyihir disana. Dia lalu jatuh cinta pada seorang muggle bernama Asha
Diandra. Karena itulah Albus Severus memilih menetap dan menikahi Asha. Anak
dari pasangan itu adalah aku.
Awalnya
sulit diketahui apakah aku penyihir atau bukan mengingat aku memiliki darah
campuran, sampai akhirnya secara tak sengaja aku menerbangkan bola sepak ke
arah gawang saat penalti dalam kejuaraan antar SD. Teman-teman mengingatku
sebagai striker handal, yang mampu menerbangkan bola hanya dengan sedikit
sentuhan, padahal bola itu memang terbang karena sihir. Darah ayahku ternyata
lebih kental.
Sejak
saat itu, ayahku mengajari beberapa sihir kecil yang bisa dilakukan
sehari-hari. Tapi dia selalu mengawasiku saat aku mencoba sihir, karena
sebenarnya melakukan sihir di dunia muggle sebelum kita berumur 17 tahun itu
pelanggaran. Kalau ketahuan, ayahku bisa cukup repot menghadapi dewan sihir.
Sekarang
umurku sudah 18 tahun, jadi aku bebas melakukan sihir. Malahan, kini saatnya
aku masuk ke sekolah sihir Hogwarts.
Jadi
begini, sekitar 10 tahun yang lalu, Hogwarts mulai membuka cabang di Indonesia
setelah melihat perkembangan dunia sihir Indonesia yang makin pesat. Makin
banyak penyihir terkenal dunia yang berasal dari Indonesia. Hanya saja sedikit
berbeda dengan di Inggris, pemerintah Indonesia berkeras bahwa murid yang boleh
masuk ke sekolah sihir minimal lulus SMA terlebih dahulu. Karena itulah aku
baru bisa masuk sekarang.
Sekarang
aku sedang menunggu surat resmi dari Hogwarts yang katanya akan diantar oleh
burung hantu. Jelas saja aku jadi semangat, karena selama ini aku belum pernah
melihat burung hantu secara langsung kecuali di kebun binatang dimana burung
itu selalu tidur. Kali ini dia benar-benar terbang, membawa surat pula.
Tapi
sudah cukup lama aku menunggu, tak ada tampak satu burung hantu pun.
Jangan-jangan burung hantunya nyasar? Aku memang ragu burung hantu bisa
menemukan rumahku di siang bolong seperti ini.
Tiba-tiba
hapeku berbunyi. Tertulis ‘1 Pesan Dari Hogwarts’. Aku tak ingat pernah meng-save
nomor Hogwarts di hapeku, jadi kurasa ini pasti sihir. Langsung kubaca isi
pesannya :
Selamat, anda diterima
di sekolah sihir Hogwarts cabang Indonesia. Sekolah anda akan dimulai pada
tanggal 15 Agustus, jadi persiapkan barang-barang yang diperlukan mulai dari
sekarang. Kereta ke Hogwarts akan berangkat dari stasiun jam 8 pagi. Terima
kasih.
Pengurus Hogwarts.
P.S.
Semua burung hantu kami
mati sehari yang lalu, mungkin terkena flu burung.
Memang
aku sedikit kecewa, tapi ini surat resmi bahwa aku diterima di sekolah sihir
Hogwarts yang terkenal itu. Aku langsung berlari ke bawah untuk mengabarkan ini
ke ayah dan ibuku. Mereka sedang berada di dapur. Ayah sedang membaca koran
sihir yang mana fotonya selalu bergerak-gerak dan karena itu aku tak pernah mau
membaca berita mutilasi di koran sihir. Ibu sedang memasakkan sarapan, tanpa
sihir tentunya karena dia seorang muggle. Ibu seringkali mengeluh iri terhadap
kami yang bisa melakukan sesuatu tanpa bergerak banyak.
“Ayah,
Ibu, lihat surat ini!” kataku sambil melambai-lambaikan surat tersebut, “Dengan
ini aku resmi masuk Hogwarts.”
“Wah,
benarkah?” kata Ibuku sambil menangis. Bukan karena terharu, tapi karena sambil
memotong bawang.
Ayah
mengambil surat itu dan membacanya, “Good! Setelah ini kita akan ke pasar sihir
untuk membeli barang-barang yang diperlukan.” Bahasa Indonesia ayah sudah
lancar tapi logatnya masih sedikit Inggris.
Sesuai
janji, setelah sarapan kami pergi ke pasar sihir. Memang agak aneh, tapi selama
ini aku tak pernah ikut ke pasar sihir karena tak pernah ada keperluan, jadi
aku penasaran bagaimana suasana pasar sihir tersebut.
Ternyata
pintu masuk ke pasar sihir adalah melalui sebuah warung makan Tegal di pinggir
kali bernama ‘Restoran Siregar’. Namanya saja sudah sangat tidak Tegal. Tidak
heran sangat jarang ada orang lain selain penyihir yang masuk ke warung makan
ini. Tempat persembunyian yang bagus.
Ayah
membawaku ke pintu belakang. Setahuku pintu itu mengarah ke kali, tapi ternyata
itu adalah semacam portal. Kami kini sudah berada di pasar sihir.
Apakah
kau pernah ke pasar tradisional dimana suasananya sangat ribut karena orang
saling menawar? Nah, pasar sihir bisa dibilang sangat mirip, kecuali barang
yang dijualnya adalah barang-barang sihir, dan itu termasuk menjual daging
binatang yang sebelumnya belum pernah kulihat sama sekali.
“Kita
akan mencari tongkat dulu untukmu.” Kata ayah.
Ayah
lalu membawaku ke toko sihir paling terkenal di Indonesia, Toko Mak Erot,
dimana slogannya adalah ‘Ahli Membesarkan….Daya Sihirmu’.
Ayah
meninggalkanku sendiri sementara dia mencari barang lainnya. Aku masuk dengan
gugup. Toko itu cukup gelap, dan dimana-mana ada kotak yang berisi tongkat
sihir. Di dinding juga dipajang tongkat sihir yang pernah digunakan oleh
penyihir terkenal Indonesia, Sule. Ya, Sule itu penyihir. Dan bukan, dia bukan
pengikut Voldemort walaupun hidungnya mirip.
“Halo,
ada yang bisa kubantu?”
Awalnya
aku sulit melihat siapa yang berbicara karena gelap, tapi setelah terlihat, aku
malah berharap tak bisa melihatnya sama sekali. Orang itu mungkin salah satu
orang terjelek yang pernah kulihat. Mukanya penuh bintik-bintik merah,
hidungnya agak bengkok, dan giginya banyak yang sudah tanggal. Ditambah lagi
rambutnya yang putih sangat berantakan. Dan saat dia berbicara, mulutnya agak
bau. Oh ya ampun, aku tak pernah tahu ada orang yang mempunyai kombinasi
sempurna mengenai hal-hal jelek seperti ini.
“Ada
yang bisa kubantu?” ulangnya.
“Ah
iya, aku mau membeli tongkat sihir.” Pertanyaan yang bodoh menurutku, sudah
jelas semua orang kesini untuk membeli tongkat sihir mengingat toko ini hanya
menjual tongkat sihir.
“Perkenalkan
nama saya Eross. Mari ikut saya agar kita bisa mencari tongkat yang tepat
untukmu.”
Aku
mau bertanya kenapa namanya bukan Erot seperti nama tokonya melainkan Eross,
tapi karena dia sendiri bukan emak-emak, kurasa Eross hanya pegawai dan buka
pemilik.
Dia
mengajakku berkeliling tokonya, tapi dia tak memperlihatkan satu tongkat pun.
“Ngg,
boleh aku melihat beberapa contoh tongkat?”
Dia
menggeleng, “Tongkat sihir akan memilih penyihirnya. Kau akan tahu sendiri mana
tongkat yang paling cocok untukmu.”
Tepat
setelah dia berkata itu, rak disamping kananku bercahaya. Bukan, salah satu
kotak tongkat bercahaya. Dia mengambil tongkat itu dan membukanya. “Inilah
tongkat sihirmu.”
Tongkat
sihirku berwarna coklat gelap dengan sedikit lekukan di dekat pegangannya.
Ketika kuterima, tongkat itu bersinar lebih terang lagi. Aku langsung merasakan
kekuatan aneh dalam diriku yang mengalir ke tongkat itu. Hanya sekejap saja,
dan sinar tongkat itu meredup. Kini aku memengang tongkat sihir biasa.
“Wah,
ini tongkat yang bagus. 12 cm, kayu pohon pinus, dengan inti urat jantung naga
bonar.”
“Naga
apa?” tanyaku karena sepertinya aku salah dengar.
“Naga
bonar. Naga yang cukup terkenal di daerah timur Indonesia.”
Sulit
mengetahui apa dia bercanda atau tidak. Tapi aku memutuskan untuk tidak peduli.
Setelah
mendapat tongkat sihir, aku pergi untuk menyusul ayahku. Sepertinya dia masih
di toko buku sihir. Kulihat toko buku itu sangat penuh. Mungkin anak-anak lain
juga baru membeli buku mereka hari ini.
Seorang
wanita berjilbab membawa buku banyak sekali sampai-sampai aku yakin dia akan
jatuh karena beratnya buku itu. Dan aku benar. Dia terjatuh ketika keluar toko.
Aku bergegas membantunya.
“Ah,
terima kasih,” katanya.
“Maaf,
tapi untuk apa kau beli buku sebanyak ini?” tanyaku sambil membantu membereskan
bukunya.
“Yah,
aku hanya suka belajar. Dan aku takut tak bisa mengerti pelajaran saat di
Hogwarts nanti kalau aku tak mulai membaca sekarang.”
Aku
sudah sering mendengar orang bilang kalau dia suka main video game atau suka
sepakbola, tapi ini pertama kalinya kudengar ada orang yang suka belajar.
Seseorang
memanggil wanita itu dari kejauhan.
“Ah,
itu ibuku,” katanya, “terima kasih sudah membantu. Aku Fika. Siapa namamu?”
“Aku
Kemal.”
“Baiklah
Kemal, sampai jumpa di Hogwarts.”
Fika
lalu berlari-lari kecil menuju ibunya. Ayahku keluar saat itu juga dengan
membawa beberapa buku. “Wah, she is your girlfriend?”
“Girlfriend
apaan? Baru juga ketemu.”
“Hehe,
bagaimana tongkatmu?”
Aku
menunjukannya dengan bangga. “Itu tongkat yang bagus,” kesannya singkat.
“Tentu
saja bagus. Tongkat ini memilihku!” Aku memutar-mutar tongkatku dengan bangga.
“Hei,
jangan memutarnya sembarangan!” teriak ayahku. Tapi sudah terlambat. Semburan
api kecil keluar dari ujung tongkatku dan membakar buku disebelahku.
Aku
melambai-lambaikan tongkatku dengan panik sampai apinya mati. Ayahku langsung
menarikku. “Bukannya kita harus ganti rugi?” kataku.
Tapi
dia tak mendengarku dan lari begitu saja. Pemilik toko buku itu keluar sambil
marah-marah. “Awas kalian berdua!!”
Pelajaran sihir pertamaku : jangan memutar-mutar tongkat sihirmu secara asal.